Header

Tuhan Cuma Menguji, Cak!

Soko Semampir lungo nang Pare,
Numpak sepur nggowo kasur,
Ojo mikir Gusti Allah sare,
Kabeh wis diatur, kabeh bakal disaur.

Yanus mlungker mirip uler. Hari ini ia merasa jadi orang paling kalah dalam sejarah peradaban. Betapa tidak. Lelang bangkai kereta api yang tabrakan beberapa bulan lalu tak berhasil ia pegang. Lelang kapal laut yang karam juga lolos dan kena sikat cukong Jakarta. Satu-satunya lelang yang berhasil ia pegang hanya kompor minyak rongsokan. Walu ada hadiah handphone dari sponsor, ia tetap merasa kalah.

Munawar yang merasa kalau sumber mata pencahariannya sedang gundah, langsung pasang muka empati. Dengan santai duduk di dekat kursi malas Yanus, nyahut rokok, lalu mulai berkoar tentang hakekat hidup.

“Katakan duhai kakakku yang sedang mlungker. Apakah kau kecewa?”
“Biasa aja”
“Tapi dari gurat wajahmu, aku tahu kau sedang menderita”
“Aku baik-baik saja” Yanus mulai jengah.

“Sudahlah (Munawar menarik asap rokok dalam-dalam, lalu melepas pelan. Mulutnya mecucu. Jan ngguilani). Tiada guna kau berbohong. Karena hidup hanyalah rangkaian peristiwa …” Bruak!

Munawar nggeblak. Rokoknya tertelan. Jidat kirinya benjol. Bingung melihat Yanus yang sudah berdiri sambil mengancam, “Aku baik-baik saja. Justru setelah kamu ngoceh aku jadimenderita”.

Munawar langsung mlempem. Berdiri, lalu ngeloyor ke dapur cari makan siang gratisan. Di sana bertemu dengan istri Yanus, wanita berjari gundek-gundek yang sudah ia anggap sebagai kakaknya. Dulu, ketika anggapan ini disampaikan penuh sedu sedan, istri Yanus sempat marah. “Ndak mau! Aku ndak mau jadi kakakmu! Lebih baik aku mati daripada tidak punya harga diri!”


“Tapi, ning, sampeyan ini sudah banyak membantu. Dan sampeyan sudah tak anggap jadi kakakku”

Istri Yanus makin muntab. Dalam pikirannya, membantu produk afkiran kayak Munawar ini sudah apes. Jadi kakaknya jelas lebih apes, hina, dan tak bermartabat. Tapi beberapa menit setelah perdebatan itu, ia toh ngalah juga. “Baik, aku boleh kamu anggep seperti kakakmu sendiri. Tapi jangan ngomong tetangga. Malu,” katanya.

Usut punya usut, ternyata Munawar sempat mengancam, “Kalau sampeyan ndak mau tak anggep kakak, sampeyan tak anggep seperti kakekku”. Istri Yanus nyerah. “Ancen wong edan,” omelnya.

Kini, Munawar duduk di kursi dapur. “Ning, cacake kok sumpek gitu kenapa?”
“Jangan diganggu. Dia lagi marah gara-gara kalah lelang”
“Halaaah. Masa kalah lelang aja sampai kayak gitu?”
“Ya kamu harus ngerti. Bisnis cacakmu kan lagi sepi. Dia pikir, kalau dapat protholan besi kereta apa kapal selam akan dapat jalan pintas buat cari untung”

“Gitu aja kok repot. Aku kan bisa bantu nyari”
“Kereta apa kapal?”
“Sepeda mini”

Rantang di samping istri Yanus langsung melayang. Akibatnya, jidat kiri dan kanan Munawar kini seimbang ; sama-sama benjol. Sekilas, performa Munawar jadi mirip dengan Hellboy, hero ndak ganteng dalam salah satu komik Amerika. Dalam komik yang kemudian difilmkan ini, Hellboy digambarkan sebagai tokoh sakti mandraguna, tapi tetap kalah sama Gatotkaca, yang suka membela mereka yang lemah.

Walau tampangnya super semrawut, hatinya lembut, bisa jatuh cinta, bahkan rela berkorban demi nusa dan bangsa. Jangan berbaik sangka. Jika kita sekarang mendadak bicara Hellboy, ini bukan titik awal untuk membuat komparasi Hellboy dengan Munawar. Memang, tampang Munawar dengan Hellboy hampir sama. Tapi kepedulian Munawar, sebenarnya tak sebanding dengan Hellboy.

Ia hanya contoh gagal teori psikoanalisa Sigmund Freud. Yang ia tahu, keseimbangan hanya ada di malam hari, ketika warung kopi hasil modal Yanus laku keras, sehingga setiran lancar. Dan kini, semua jadi serba megap-megap. Sejak BBM naik beberapa waktu lalu, banyak orang memilih minum bensin ketimbang kopi.

Ini juga yang membuat Yanus gelisah. Ketika Pemilik Hidup memilih dia jadi pengusaha barang bekas yang sukses, belasan nyawa bergantung dipundaknya. Sungguh, ini berat. Hero seperkasa Hulk saja belum tentu bisa setabah Yanus.

Jadi pemimpin ternyata tak sekedar gagah-gagahan. Ia harus bisa ngayomi, bisa tersenyum dalam duka, biasa berbagi cerita suka dan pintar menyembunyikan cerita sedih. Seperti sekarang. Perusahaan ini diambang bangkrut, tapi semangat dan optimisme harus terus ditebar.

Walau seminar barang bekas beberapa waktu lalu jadi bahan tertawaan, nyatanya, banyak pengusaha memilih jalur pintas. Jor-joran modal, adu lobby, berebut proteksi alias kemudahan, dan lain sebagainya. Kosa kata ini, tak pernah ada di kamus Yanus. Ia biasa berjalan di atas kewajaran, jujur, dan menjunjung tinggi etika.

“Tidak ada besi tua, tidak ada barang bekas. Gara-gara jaman susah, semua dimakan. Dulu, orang makan mi instan lalu membuang bungkusnya. Sekarang tidak. Bungkus plastik ikut dimakan. Begitu juga kebiasaan konsumen susu kaleng, roti, dan teh botol. Tidak ada barang tersisa,” keluh Yanus. “Padahal klienku yang di negeri seberang sana terus minta besi tua. Katanya buat campuran obat tetes mata,” tambahnya.

Pembicaraan suami istri ini tak berlanjut. Dari halaman belakang, mendadak ada suara gedabruk, keras. Lalu ada suara Munawar, “Cak Yanus!”

Yang dipanggil langsung berlari. Di halaman belakang, ada piring terbang entah dari planet mana, nyungsep tak berdaya. Jari Yanus lincah menotok di satu sisi. Ting! “Wah, perusahaaan kita tidak jadi bangkrut. Ini besi mahal,” katanya. Istri Yanus langsung menarik nafas lega. Munawar ikut tersenyum. Ah, bukankah hidup memang indah?